Wednesday 18 July 2018

MENYATUKAN BERBAGAI MAZHAB DALAM ISLAM


Menjamurnya berbagai mazhab atau lebih tepatnya kelompok-kelompok dalam islam sangat berdampak buruk bagi perkembangan umat islam itu sendiri. Seperti yang kita ketahui, ajaran  islam yang sejatinya mengajarkan kemurahan hati, belas kasih, dan perdamaian, telah di kotori para penganut yang fanatik dengan mazhabnya sehingga banyak pertumpahan darah karenanya.
Seiring berjalannya waktu dengan lautan masa yang telah menjadi korban fanatisme mazhab mengakibatkan luka yang amat mendalam sehingga api kebencian terus melahirkan penindasan-penindasan baru yang berseberangan dengan mazhabnya.
Menurut catatan sejarah, permusuhan dan pertumpahan darah antar mazhab yang paling sering dan paling sengit adalah kelompok Syi’ah dan Ahlussunah, dikarenakan kedua kelompok ini memiliki pengikut yang paling banyak. Namun perselisihan dalam tubuh umat islam tidak hanya terbatas pada permusuhan antara Ahlussunah dan Syi’ah saja, tetapi terjadi juga antara Ahlussunah dan Mu’tazilah. Fitnah dan tragedi yang berkaitan dengan pemasalahan Khalqul Quran yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah Makhluk tak akan pernah pupus dari ingatan sejarah.
Padahal permusuhan yang disebabkan antar golongan tersebut tidak sedikitpun memberikan manfaat atau maslahat bagi umat islam itu sendiri, melainkan perpecahan dan pertumpahan darah yang membuat islam menjadi agama yang lemah karena keterpecahannya. Situasi seperti inilah yang dimanfaatkan kaum imperialis untuk menghancurkan islam.
Perpecahan dikalangan umat islam menyebabkan lepasnya daerah Andalusia dari kekuasaan khilafah islam. Kehadiran kekuatan kolonial, yang terdiri atas kaum nasrani dan yahudi membuat situasi semakin tidak kondusif. Mereka memanfaatkan dan memperbesar api pertikaian di antara umat islam untuk mencapai tujuan buruk mereka.
Seiring perjalanannya dengan banyaknya berbagai mazhab, satu persatu mulai berguguran dan melebur ke mazhab yang lain yang lebih besar. Mazhab dan sekte yang masih bertahan sampai sekarang di antaranya adalah Ahlussunah, Firqah Syi’ah Zaidiyyah, Syi’ah Itsna ‘Asy’ariyyah, Isma’iliyyah, Ad-Duruz, Alawiyyin, Ibadhiyyah, dan Ahmadiah.
Namun apabila di analisa dengan teliti dengan membuang jauh-jauh fanatisme antar mazhab, maka kita akan menyimpulkan perbedaan khilafiyyah antara Syi’ah Zaidiyyah dengan Syi’ah Imamiyyah tidak terlalu signifikan. Begitu juga dengan khilafiyyah antara Ahlussunah dan Ibadiyyah, semuanya masih bisa dikompromikan.
Figur atau tokoh yang dijadikan panutan dalam aliran berbagai mazhab itupun ternyata memiliki hubungan dan  keterikatan. Abu hanifah yang Sunni adalah murid dari Imam Zaid, tokoh utama Syi’ah Zaidiyyah. Abu hanifah belajar fiqh dan dasar aqidah dari Zaid, smentara Zaid adalah murid Washil bin Atho, pemimpin Mu’tazilah. Oleh karena itu, tak heran jika kita melihat dengan jelas dampak-dampak pemikiran mazhab Mu’tazilah dalam dasar-dasar ajaran Syi’ah Zaidiyyah.
Indah sekali bukan kalau kita melihat, Abu hanifah yang Sunni belajar dari Imam Zaid yang Syi’ah, dan Zaid yang Syi’ah berguru kepada Washil bin Atho yang berpaham Mu’tazilah. Kedekatan antar tokoh semakin kukuh mengingat Imam Malik yang Sunni telah belajar dari Ja’far Ash-shadiq, yang merupakan tokoh sentral Imamiyyah atau Syi’ah Ja’fariyyah. Makanya tak heran jika kita temui banyak kesamaan antara fiqih Imam Malik yang sunni dengan fiqih Ja’far yang Syi’ah. Disisi inilah, Ahlussunah memiliki kedekatan jarak dengan Syi’ah. Selain itu, Imam bukhari, penghimpun hadis terrkemuka, sempat berguru ilmu hadis dari Imran bin Hiththan, ulama Khawarij. Hubungan guru dengan murid inilah yang menjadi ikatan antara Ahlussunah dan Khawarij. Lebih dari itu, Washil bin Atho dan Amr bin Ubaid, dua orang tokoh Mu’tazilah pernah berguru kepada Hasan bashri, ulama besar Ahlussunah dari generasi tabi’in.
Dari sinilah kita mendapatkan suatu interkoneksi antara satu mazhab dengan mazhab yang lainnya melalui antar figur yang banyak di anut oleh mayoritas umat islam. Sebetulnya tidak ada hambatan atau alasan lagi yang dapat diterima untuk tidak dapat menyatukan antara Ibadiyyah dan Syi’ah. Perbedaan yang ada antara kedua mazhab itu adalah hanya berkisaran pada permasalahan khilafah. Ini berarti bahwa kesenjangan tidak jauh berbeda dengan pandangan Ahlussunah dan Syi’ah, hal itu merupakan perbedaan yang tidak mustahil untuk dikompromikan. Karena seperti yang kita ketahui negara terakhir yang berbentuk khilafah yang menggunakan sistem Imamah hanya ada di yaman, itupun telah roboh dan digantikan oleh sistem Demokrasi sejak tahun 1962.
Selanjutnya bagaimana halnya dengan topik pemunculan Imam Mahdi yang diyakini oleh mazhab Imamiyyah, tetapi tidak diyakini oleh mazhab lainnya? Kiranya alasan seperti itu tidak dijadikan sebagai batu sandungan untuk terciptanya persatuan umat islam. Sederhanya begini,  ketika imam itu muncul, barulah kita membicarakan untuk bersepakat atau tidak. Sebab, memperselisihkan masalah yang belum ada atau belum tampak merupakan hal yang kontraproduktif. Diposisi yang sama hendaknya para pengikut Syi’ah juga tidak langsung mengkafirkan umat islam lainnya yang tidak mempercayai datangnya Imam Mahdi.
Ketika ada topik lain yang menjadi pembeda, sejatinya itu hanyalah perbedaan dalam menetapkan aturan fiqih, yang dikarenakan mereka mempunyai isi otak dan kondisi lingkungan  yang berbeda-beda sehingga hasil fatwanyapun pasti berbeda-beda pula, namun tidak bertentangan dengan ajaran islam yang haq. Yang jadi catatan penting adalah bahwa setiap masing-masing mazhab pasti berpendirian teguh pada argumennya yaitu dari sumber yang sama, hadis Rasulullah SAW. dan fatwa para sahabat.
Dalam banyak hal, perbedaan itu juga telah terjadi dalam satu mazhab. Abu hanifah contohnya, metodologi fiqihnya justru lebih dekat dengan metodologi Imam Zaid dalam banyak masalah, daripda Imam Syafi’i. Padahal Imam hanafi dan Imam Syafi’i adalah Imam mazhab Ahlussunah. Walaupun demikian, tidak ada seorangpun berakal sehat yang berani menilai bahwa kedua Imam tersebut telah keluar dari jalur Islam dan Ahlussunah.
Kesimpulannya adalah perbedaan yang menyebabkan perpecahan dan pertumpahan darah bagi umat islam adalah kepicikan , dan kefanatikan sebagian orang yang bermazhab tertentu. Oleh karena itu, jika kita menganalisa masih terdapat adanya peluang untuk mendekatkan jarak antara satu mazhab dengan mazhab lainnya, atau mempertemukan dengan mengadakan sebuah dialog dalam rangka mempersatukan dan memperkokoh kembali kekuatan islam.
Salah satu gerakan yang sudah terealisasi adalah oleh Kementerian Waqaf di Mesir yang telah mempelopori upayanya dengan mengadakan normalisasi antara Ahlussunah dan Syi’ah Ja’fariyyah. Kiranya kepeloporan itu bisa diikuti pula oleh pihak-pihak lain untuk memperluas ruang lingkupnya dengan mengadakan normalisasi semua mazhab yang ada yang banyak dianut oleh umat islam.    Sekian.

No comments: