Saturday 24 March 2018

MENGEMBALIKAN DUALISME HMI (MPO-DIPO)

     


     Perdebatan tentang pecahnya HMI antara MPO-DIPO merupakan perdebatan yang tidak akan ada pangkal ujungnya selama masih ada kepentingan dan keegoisan subjektif dalam menilai sesuatu antara HMI inilah yang penyelamat dan HMI itulah yang benar-benar penyelamat organisasi.

     Saya berpandangan bahwa akar permasalahan yang menyebabkan HMI dan MPO tidak pernah islah adalah masih terbudayakannya ego ego senior yang haus akan jabatan dan kepentingan serta kesempitan berpikir untuk menerima masukan positif yang membangun. Kesepakatan islah secara pandangan sederhana merupakan sesuatu yang sangat mudah dilakukan oleh kedua kubu ini antara HMI dan MPO.

     Islah sangat mungkin menjadi sebuah kenyataan jika para petinggi kedua belah pihak tidak haus akan kekuasaan, tidak haus akan perebutan jabatan siapa yang akan memimpin sebagai ketua PB, dari HMI DIPO kah atau dari MPO. Islah sangat mungkin terjadi jika para petinggi tidak mengegoiskan diri bahwa konstitusi inilah yang paling sesuai dan budaya seperti ini pulalah yang paling relevan untuk HMI.

     Jika kalian masih disempitkan kebodohan seperti itu maka tunggulah HMI membelah menjadi 3 faham dan akan berlanjut sampai ribuan sampai HMI itu sendiri MATI akibat kurus dan lemah kekurangan kader seperhimpunan. 

     Terpecahnya HMI menjadi dua antara HMI dan MPO merupakan keputusan presiden ke 2 (dua) oleh soeharto yang mengkerucutkan asas organisasi menjadi satu asas tunggal yaitu asas pancasila dengan tujuan setiap organisasi lebih memersatu dan tidak adanya indikasi untuk menimbulkan sebuah persaingan ideologi antar organisasi.

     Dengan keputusan presiden tersebut mengakibatkan sebagian tubuh dari HMI menolak keputusan presiden tersebut yang notabenenya pada waktu itu HMI selalu pro dan mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan memang tidak bisa dipungkiri bahwa di era 80 an tubuh HMI sangat kental dengan nilai nilai keislamannya, berbeda pada era era sebelumnya yang masih fokus pada perjuangan mempertahankan republik indonesia.

     Kebijakan kebijakan pemerintah HMI selalu berada di garda terdepan untuk membelanya, namun berbanding terbalik dengan kebijakan yang memaksakan HMI untuk menggantikan asasnya menjadi asas pancasila dimana nilai nilai keislaman ditubuh HMI pada saat itu lagi matang matangnya.

     Jadi sebuah instrumen yang wajar jika terjadi penolakan di tubuh HMI itu sendiri tentang keputusan presiden untuk menggantikan islam ke pancasila. Namun HMI juga harus sadar bahwa konsekuensi tidak menerimanya asas tunggal tersebut berindikasikan pada pembubabaran HMI itu sendiri.

     Disinilah letak dualisme HMI yang diperhadapkan dua pilihan tersulit yang belum bisa terselesaikan sampai pada saat ini. Terpecahlah HMI menjadi dua dimana sebahagian yang menerima asas tunggal disebut HMI DIPO dan yang menolak disebut sebagai MPO.

     Berpecahnya HMI pada saat itu merupakan fenomena yang wajar dan memang harus sedemikian mengingat kecintaan yang teramat dalam untuk menyelamatkan organisasi HMI. Di satu sisi ingin menyelamatkan HMI dimata pemerintah supaya tidak dibubarkan, di sisi lain ingin menyelamatkan ideologi HMI yang menjadi dasar pergerakan bagi HMI itu sendiri.

     Memilih siapa yang benar, saya pribadi kedua duanya benar untuk itulah HMI harus dualisme supaya tetap terselamatkan kedua duanya antara organisasi dan ideologi. Dan diantara keduanya pun harus saling berterima kasih satu sama lain karena berkat dualisme inilah HMI tetap terjaga dimana berkat HMI DIPO yang menerima asas tunggal telah mengelabui mata pemerintah bahwa ada HMI MPO yang masih dengan keyakinan menerima asas islamnya sehingga MPO tidak menjadi incaran pemerintah untuk dibubarkan.

     Begitupun sebaliknya HMI DIPO pun harus berterima kasih kelpada MPO karena berkat dia lah ideologi HMI masih tetap terjaga. Menurut hemat saya keputusan untuk dualisme pada saat itu merupakan keputusan yang amat sangat bijak untuk mengelabui pemerintah dan menjaga ke independensi an HMI itu sendiri.

     Setelah runtuhnya orde baru kemudian pada tahun 1999 dicabutlah asas tunggal dengan mengembalikan asas organisasi sesuai asasnya masing masing. Seluruh organisasipun berbondong bondong kembali ke asasnya masing masing takterkecuali HMI DIPO pada saat itu.

     Setelah kembalinya HMI ke asas semula menjadi asas islam tentunya menjadi sebuah kabar gembira ditubuh HMI itu sendiri yang berkat persoalan itu sampai sampai sempat membuat HMI dualisme. Kemudian setelah kembalinya asas semula tentunya tidak ada alasan lagi untuk HMI supaya bersatu kembali atau islah.

     Karena alasan konkrit HMI terpecah adalah permasalahan asas (islam dan pancasila), ketika sudah tidak ada lagi permasalahan asas maka seharusnya tidak ada lagi alasan bagi tubuh HMI tidak untuk rujuk kembali.

     Namun seiring perjalanannya, semenjak dualisme HMI telah terjadi perubahan kultur budaya dan perubahan konstitusi pada HMI itu sendiri. Penyebab inilah yang menjadi akar permasalahan sehingga HMI dirasa sangat mustahil untuk bersatu. Wacana islahpun beberapa kali di agendakan oleh petinggi petinggi HMI namun berujung gagal dan gagal lagi.

     Satu saja yang harus dicatat bahwa HMI tidak akan pernah islah jika masih ada kepentingan kekuasaan jabatan didalam tubuh HMI. Jika masih mementingkan si inilah yang harus menjadi pemimpin dan konstitusi inilah yang harus digunakan serta budaya ini jugalah yang harus dibudayakan maka pasti tidak akan menemukan titik temu antara kedua belah pihak, dimana antara kedua pihak pasti mempertahankan kubunya masing masing.

     Kita perlu ingat bahwa seluruh KAHMI (Korps Alumni HMI) yang merupakan senior yang didengar oleh HMI itu sendiri telah menyarankan beberapa kali untuk bersatunya kedua belah pihak ini, seharusnya ini menjadi renungan kita bersama dimana dua mesin jika disatukan maka akan menjadi tenaga yang sangat luar biasa untuk HMI.

     Tentunya untuk menyatukan kembali atau meng islahkan kembali HMI harus membuang jauh jauh keegoisan dan membuka hati dan pikiran untuk menerima masukan masukan yang rasional dari kedua belah pihak, bahwa HMI ini harus berkonstitusi seperti apa dan budaya yang relevan seperti apa? Tentunya untuk menjawab secara objektif dengan dibentuknya sebuah pertemuan tertinggi yang menghadirkan kedua belah pihak dengan jumlah yang sama dan mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk menyatukan kembali HMI sehingga lahirlah sebuah kesepakatan bersama tentang perubahan perubahan konstitusi dan budaya yang harus ada pada HMI dengan campur adukan kedua buah pikirian tersebut. 

     Dari pada tetap mempertahankan keegoisan tidak menjadi soal jika konstitusi dilakukan perubahan dengan penggabungan kedua belah pihak pikirannya untuk membentuk konstitusi baru dan kultur baru.

     Kesimpulannya cukup mudah, selama ada kemauan dari kedua belah pihak untuk mempersatukan kembali maka HMI DIPO dan HMI MPO sekarang pasti sudah ISLAH. Sekian dan terima kasih.


   

No comments: